Biografi KH. Muhammad Sidiq ( Mbah Sidiq ) Jember



Oleh: Ach Khumaedi Mbfi

Beliau lahir tahun 1453 H (1854 M) di pedukuhan Punjulsari Desa Waru Gunung Kecamatan Lasem Kabupaten Rembang Jawa Tengah. Lokasi pedukuhan Punjulsari perkebunan dan hutan sehingga beliau adalah Arek Ndeso. Menurut Garis nasab yang dicatat KH. Achmad Qusyairi bin KH Muhammad Shiddiq dan catatan KH. Abdul Halim bin KH Muhammad Shiddiq, menyebutkan Mbah Shiddiq keturunan kyai-kyai agung yg jika dirunut silsilahnya beliau masih keturunan Mbah Sambu Lasem Rembang Jateng.

KH. Muhammad Shiddiq bin KH Abdullah (makam di Laut Merah) bin KH. Sholeh (makam di Lasem) bin KH. Asy’ari bin KH. Azro’i bin KH Yusuf (makam di Pulandak Lasem) bin Sayyid Abdurrachman Al-Basyaiban (makam di Lasem) yang berjuluk Mbah Sambu.
Beliau wafat tanggal 02 Ramadhan 1433H / 9 Desember 1934 H.

Kiai asal Lasem ini adalah salah satu santri Syaichona Kholil Bangkalan, selama belajar di Pesantren itu, Sidiq mudah lebih banyak melakukan Riyadlah dgn memperbanyak puasa dan jarang tidur. Hampir tiap malam ia tdk pernah tidur. Diantara kebiasaannya adalah mengisi bak mandi pondok di tengah malam yg gelap.

Suatu malam ada peristiwa aneh. Ketika menimbah air, seperti biasanya, tiba-tiba timba yg ditariknya terasa berat. Setelah sampai di atas, barulah ia tahu, timbanya berisi bermacam-macam permata yg berkilaun.

Tentu saja Siddiq muda kaget. Namun imannya tdk goyah sedikitpun. Ia malah menceburkan kembali permata itu setelah bergumam seraya berdo'a; " ya Allah, bukan ini yg aku harapkan. Aku hanya memohon Engkau memberiku keturunan orang-orang yg solih dan solihah. " Mungkin berkat do'a itulah kemudian Allah memberinya keturunan orang-orang hebat dikemudian hari.

Alkisah... Berawal ketika beberapa tahun setelah berdirinya NU, Hadratus syaihk M.Hasyim Asy'ari mengutus KH. Wahab Hasbullah dan KH. Masykur untuk sowan kepada Mbah Sidiq. Keduanya sampai di kediaman Mbah Sidiq di Jember sudah sore hari. Dalam pertemuan mereka, Kiai Wahab menceritakan tentang proses berdirinya NU, dan komite Hijaz hingga ada restu dari Syaichona Kholil Bangkalan. Sampai akhirnya Kiai Wahab menyampaikan pesan khusus;

" Kiai Hasyim mengharap dukungan panjenengan untuk perjuangan Ahlusunnah Waljamaah,".

Mbah sidik tdk segera memberikan jawaban. "Insyaallah jawabannya besok pagi. Sekarang panjenengan istirahat dulu," kata Mbah Sidiq sambil mempersilahkan keduanya beristirahat.

Malamnya Mbah Sidiq beristikharah untuk meminta petunjuk kepada Allah Swt atas permintaan itu. Dan ke esokan harinya jawaban itu disampaikan;

"Biar lah saya di surau ini saja. Anak saya ini (sambil menunjuk KH.Mahfudz Siddiq) yg mewakili saya di NU," tutur Mbah Siddiq.

Pada masa-masa selanjutnya, Mbah Siddiq memberikan kesempatan besar untuk anak dan cucunya berkiprah bagi kemajuan NU; KH.Mahfudz Siddiq (anaknya) menjadi Ketua Umum PBNU (1937-1944), KH.Abdullah Siddik (anaknya) menjadi ketua PWNU Jatim (1963), KH.Acham Siddiq (anaknya) menjadi Rais Aam PBNU (1984-1991), KH. Ali Mansur (cucunya) sebagai pencipta Shalawat Badar, KH. Abdul Hamid Pasuruan dikenal sebagai Waliyuallah, KH.Hamid Wijaya (cucunya) menjadi Ketua GP Ansor pertama dan Khatib Am Syuriah PBNU, Hizbullah Huda (cucunya) menjadi Ketua PW GP Ansor masa Gestapu dan salah satu pendiri PMII. Selain itu, rata-rata anak dan cucunya hafal al-qur'an dan mengasuh Pondok Pesantren sendiri. Subhanallah.
-
Sumber;
- Aswajaonline.com,
- https://keluargabanishiddiq.wordpress.com/…/tentang-mbah-s…/)
- Majalah Aula edisi Januari 2011).
- Foto KH.Achmad Siddiq putra Mbah Siddiq.

Related Posts

Posting Komentar